Selasa, 12 Februari 2019

Kisah Nabi Khidir As



Salah satu kisah Al-Qur'an yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba yang Allah SWT memdiberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah tersebut terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan dongeng Nabi Musa, yaitu:
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada anakdidiknya: 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum hingga ke pertemuan dua buah lautan; atau saya akan berjalan-jalan hingga bertahun-tahun." (QS. al-Kahfi: 60)
Kalimat yang samar memberikan bahwa Musa sudah bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup usang kecuali bila dia bisa mencapai majma' al-Bahrain (pertemuan dua buah lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika dia hingga di majma' al-Bahrain. Anda sanggup merenungkan betapa kawasan itu sangat misterius dan samar. Para musafir sudah mencicipi keletihan dalam waktu yang usang untuk mengetahui hakikat kawasan ini. Ada yang menyampaikan bahwa kawasan itu yakni maritim Persia dan Romawi. Ada yang menyampaikan lagi bahwa itu yakni maritim Jordania atau Kulzum. Ada yang menyampaikan juga bahwa itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang menyampaikan bahwa itu yakni maritim Andalus. Tetapi mereka tidak sanggup memberikan bukti yang besar lengan berkuasa dari tempat-tempat itu.
Seandainya kawasan itu harus disebutkan pasti Allah SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur'an al-Karim sengaja menyembunyikan kawasan itu, sebagaimana Al-Qur'an tidak sebut kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur'an tidak sebut nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu lantaran adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berafiliasi dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, lantaran biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi lantaran biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita kini berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.
Di samping itu, kawasan pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memdiberitahumu kapan terjadi dan di kawasan mana. Al-Qur'an sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur'an sengaja menyembunyikan pendekar dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:
"Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang sudah Kami diberikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang sudah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi: 65)
Al-Qur'an al-Karim tidak sebut siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa biar ia sanggup berguru darinya. Nabi Musa yakni seseorang yang diajak bebicara pribadi oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau yakni pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, dia menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus berguru kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya yakni seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur'an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia yakni Khidir as.
Musa berjalan bersama hamba yang mendapatkan ilmunya dari Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak dikawani oleh Musa. Khidir memdiberitahu Musa bahwa ia tidak akan bisa bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau dikawani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya wacana apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir ialah simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-geriknya menjadikan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak mempunyai arti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa resah dan menciptakannya menentang. Meskipun Musa mempunyai ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun dia mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat sikap hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT.
Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi resah ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat ialah penggalan dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun susah memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Qur'an sudah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada "cemburu" dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul lantaran efek kisah ini.
Para ulama tidak sama pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka menyampaikan bahwa ia seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Sebagian lagi menyampaikan bahwa ia seorang nabi. Terdapat banyak dongeng bohong wacana kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang menyampaikan bahwa ia akan hidup hingga hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak sanggup dijabarkan melalui nas-nas atau hadis-hadis yang sanggup dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri beropini bahwa dia meninggal sebagaimana meninggalnya hamba-hamba Allah SWT yang lain. Sekarang, kita tinggal mengulas kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk problem yang sangat rumit atau membingungkan. Kami akan memberikan kisahnya dari pertama sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-Qur'an.
Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT dan menceritakan kepada mereka wacana kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Sesudah dia memberikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: "Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?" melaluiataubersamaini nada emosi, Musa menjawaban: "Tidak ada."
Allah SWT tidak oke dengan jawabanan Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: "Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu-Nya?" Musa mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: "Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada di majma' al-Bahrain yang ia lebih alim daripada engkau." Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, kemudian timbullah impian dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya bagaimana ia sanggup menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di kawasan itulah Musa akan menemui hamba yang alim.
Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan dia dikawani oleh seorang pemmenolongnya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan saleh. Tempat yang mereka cari yakni kawasan yang sangat samar dan problem ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan besar lengan berkuasa untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun dia harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama.
Musa berkata kepada pemmenolongnya: "Aku tidak memdiberimu kiprah apa pun kecuali engkau memdiberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu." Pemuda atau pemmenolongnya berkata: "Sungguh engkau spesialuntuk memdiberi saya kiprah yang tidak terlalu berat." Kedua orang itu hingga di suatu kerikil di sisi laut. Musa tidak besar lengan berkuasa lagi menahan rasa kantuk sedangkan pemmenolongnya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup kemudian melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke maritim sebagai tanda yang didiberitahukan Allah SWT kepada Musa wacana kawasan pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa hadir untuk berguru kepadanya. Musa bangun dari pulasnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya sudah melompat ke maritim sedangkan pemmenolongnya lupa untuk menceritakan insiden yang terjadi. Lalu Musa bersama cowok itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia sudah mencicipi keletihan. Ia berkata kepada pemmenolongnya: "Coba bpertamaah kepada kami masakan siang kami, sungguh kami sudah mencicipi keletihan jawaban dari perjalanan ini."
Pemmenolongnya mulai ingat wacana apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa lantaran lupa menceritakan hal itu. Setan sudah melupakannya. Keguahan apa pun yang menyertai insiden itu, yang terang ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: "Demikianlah yang kita inginkan." Melompatnya ikan itu ke lautan yakni sebagai tanda bahwa di kawasan itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pemmenolongnya kembali dan menelusuri kawasan yang dilaluinya hingga ke kawasan yang di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.
Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya, Musa hingga di kawasan di mana ikan itu melompat. Mereka berdua hingga di kerikil di mana keduanya pulas di erat situ, kemudian ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui spesialuntuklah citra dalam yang dijelaskan oleh Al-Qur'an: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang sudah Kami diberikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang sudah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. "
INI aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terserius pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman:
"Maka tatkala mereka berjalan hingga ke pertemuan dua buah maritim itu, maka mereka lalai akan ikannya, kemudian ikan itu melompat mengambil jalannya ke maritim itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada anakdidiknya: 'Bpertamaah ke rnari masakan kita; sesungguhnya kita merasa letih lantaran perjalanan hita ini.' Muridnya menjawaban: 'Tahukah engkau tatkala kita mencari kawasan berlindung di kerikil tadi, maka sesungguhnya saya lupa (menceritakan perihal) ikan itu dan tidak yakni yang melupakan saya untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke maritim dengan cara yang guah sekali.' Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari; kemudian keduanya kembali, mengikuti jejak mereka tiruanla. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang sudah Kami diberikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang sudah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. " (QS. al-Kahfi: 61-65)
Bukhari menyampaikan bahwa Musa dan pemmenolongnya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia memberikan salam kepadanya. Khidir berkata: "Apakah di bumimu ada salam? Siapa engkau?" Musa menjawaban: "Aku yakni Musa." Khidir berkata: "Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil." Musa berkata: "Dari mana engkau mengenal aku?" Khidir menjawaban: "Sesungguhnya yang mengenalkan engkau kepadaku yakni juga yang memdiberitahu saya siapa engkau. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?" Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: "Apakah saya sanggup mengikutimu biar engkau sanggup mengajariku sesuatu yang engkau sudah memperoleh karunia dari-Nya." Khidir berkata: "Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau sudah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, bila engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan bisa bersabar bersamaku."
Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawabanan Khidir yang tegas di mana ia memdiberitahu Musa bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para andal tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Musa: "Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan bisa sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak sanggup menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau pahami sebab-sebabnya. Oleh lantaran itu, wahai Musa, engkau tidak akan bisa bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku." Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun dia kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk berguru darinya. Musa berkata kepadanya bahwa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.
Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa bila ia bersikeras ingin menyertainya dan berguru darinya. Musa bertanya wacana syarat ini, kemudian hamba yang saleh ini memilih biar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang saleh itu akan memdiberitahunya. Musa setuju atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi:
"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah saya mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang sudah diajarkan kepadamu ?' Dia menjawaban: 'Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau sanggup sabar atas sesuatu, yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup wacana hal itu?' Musa berkata: 'Insya Allah engkau akan mendapati saya sebagai orang yang sabar, dan saya tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika engkau mengikutiku, maka tidakbolehlah engkau menanyakan kepadaku wacana sesuatu pun, hingga saya sendiri menerangkannya kepadamu.'" (QS. al-Kahfi: 66-70)
Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar kemudian mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana biar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibentuk terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, kemudian ia melemparkannya ke maritim sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke kawasan yang jauh.
Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: "Apa yang saya lakukan di sini, mengapa saya berada di kawasan ini dan menemani pria ini? Mengapa saya tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini sudah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merusak perahu itu dan melobanginya." Tindakan Khidir di mata Musa yakni tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa wacana syarat yang sudah diajukannya, biar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa berkata: "Apakah engkau melobanginya biar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau sudah melaksanakan sesuatu yang tercela." Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan memberikan bahwa perjuangan Musa untuk berguru darinya menjadi sia-sia lantaran Musa tidak bisa lagi bersabar. Musa meminta maaf kepada Khidir lantaran ia lupa dan mengharap kepadanya biar tidak menghukumnya.
Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan kawasan bermain oleh bawah umur kecil. Ketika bawah umur kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk sudah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibentuk terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kacil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya wacana kejahatan yang gres saja dilakukannya, yaitu membunuh anak pria yang tidak berdosa. Hamba Allah SWT itu kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan bisa bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya lantaran lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini yakni peluang terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, kemudian mereka meminta masakan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memdiberi dan tidak mau menjamu mereka.
Kemudian hadirlah waktu sore. Kedua orang itu ingin diberistirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibentuk terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya menyerupai baru. Musa sangat heran melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: "Seandainya engkau mau, engkau bisa menerima upah atas pembangunan tembok itu." Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: "Ini yakni batas perpisahan antara dirimu dan diriku." Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa wacana pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga yakni selesai dari pertemuan.
Kemudian hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh itu—yang membuat Musa bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia spesialuntuk sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih akung. Demikianlah bahwa aspek lahiriah berperihalan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa mempunyai ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu Musa laksana setetes air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah SWT itu spesialuntuk memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT berfirman:
"Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu kemudian Khidir melobanginya. Musa berkata: 'Mengapa engkau melobangi perahu itu yang akhirnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya engkau sudah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.' Dia (Khidir) berkata: 'Bukankah saya sudah berkata: 'Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.' Musa berkata: 'Janganlah engkau menghukum saya lantaran kelupaanku dan tidakbolehlah engkau membebani saya dengan sesuatu kesusahan dalam urusanku.' Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: 'Mengapa engkau membunuh jiwa yang membersihkan itu, bukan lantaran dia membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau sudah melaksanakan suatu yang mungkar.' Khidir berkata: 'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan sabar bersamaku?' Musa berkata: 'Jika saya bertanya kepadamu wacana sesuatu setelah (kali) ini, maka tidakbolehlah engkau memperbolehkan saya menyertairnu, sesungguhnya engkau sudah cukup mempersembahkan uzur kepadaku.' Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya hingga kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: 'Jikalau engkau mau, pasti engkau mengambil upah untuk itu.' Khidir berkata: 'INI perpisahan antara saya dengan engkau. Aku akan memdiberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sanggup sabar terhadapnya. Adapun perahu itu yakni kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan saya bertujuan merusakkan perahu itu, lantaran di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya yakni orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari hasih akungnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu yakni kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka hingga kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah saya melakuhannya itu berdasarkan kemauanku sendvri. Demikian itu yakni tujuan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sanggup sabar terhadapnya.'" (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memdiberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memdiberitahunya bahwa banyak dari petaka yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahwa perjuangan melobangi perahu mereka ialah suatu tragedi bagi mereka tetapi bahwasanya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak sanggup diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rusak. melaluiataubersamaini demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang bau tanah anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka lantaran Allah SWT akan memdiberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang sanggup menjaga mereka dan melindungi mereka pada dikala mereka menginjak masa bau tanah dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran menyerupai anak yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu tragedi dan sebaliknya, suatu tragedi terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan.
Mula-mula Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa sudah berguru dari mereka dua hal: yaitu ia tidak merasa besar hati dengan ilmunya dalam syariat lantaran di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh insan lantaran di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih akung-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang gres di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak sanggup kita jangkau dengan kebijaksanaan kita sebagai insan biasa atau sanggup kita cerna dengan kebijaksanaan biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka.
Kita kini sedang mengulas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi beropini bahwa hamba Allah SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT sudah memdiberinya sebagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama beropini bahwa hamba saleh ini yakni seorang nabi. Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut memberikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-Qur'an yang memberikan kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
"Lalu mereka bertemu dengan searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang sudah Kami diberikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang sudah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
Kedua, perkataan Musa kepadanya:
"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah saya mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang sudah diajarkan kepadamu?' Dia menjawaban: 'Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau sanggup sabar atas sesuatu, yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup wacana hal itu ?' Musa berkata: 'lnsya Allah engkau akan mendapati saya sebagai orangyang sabar, dan saya tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika engkau mengikutiku, maka tidakbolehlah engkau rmnanyakan kepadaku wacana sesuatu pun, hingga saya sendiri menerangkannya kepadamu,'" (QS. al-Kahfi: 66-70)
Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawaban kepada Musa dengan jawabanan yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.
Ketiga, Khidir memberikan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya. Ini yakni dalil tersendiri yang memberikan kenabiannya dan bukti besar lengan berkuasa yang memberikan kemaksumannya. Sebab, seorang wali dihentikan membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan spesialuntuk berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum lantaran terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya.
Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:
"Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah saya melakukannya itu berdasarkan kemauanku sendiri. " (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni, apa yang saya lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia ialah perintah dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para andal zuhud. Para ulama beropini bahwa Khidir yakni seorang Nabi sedangkan para andal zuhud dan para tokoh sufi beropini bahwa Khidir yakni seorang wali dari wali-wali Allah SWT.
Salah satu pernyataan Kliidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi yakni perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: "Wahai Musa, insan akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia)." Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: "Musa berkata kepada Khidir: "Berilah saya nasihat." Khidir menjawaban: "cepatdangampang-gampangan Allah SWT megampangkan engkau untuk taat kepada-Nya." Para ulama dan para andal zuhud berselisih pendapat wacana Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya. Perbedaan pendapat ini berujung pertama kepada anggapan para ulama bahwa mereka yakni sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai andal hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari andal hakikat itu yakni Khidir. Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi lantaran dia mendapatkan ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati nas yang terang dalam konteks Al-Qur'an yang memberikan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang sanggup kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang didiberi oleh Allah SWT sebagian ilmu laduni.
Barangkali kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja biar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para nabi lantaran ia yakni seorang guru dari Musa dan seorang ustadz baginya untuk beberapa waktu.

<< Kisah Nabi & Rosul

0 komentar

Posting Komentar