Selasa, 05 Februari 2019

Pengertian Madrasah Diniyah


Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa penpenghasilanan al-Qur’an dan penpenghasilanan kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat berguru yang dipakai umumnya yaitu ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.

Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang pertamanya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di banyak sekali wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang didiberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal ibarat rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang lebih banyak didominasi penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun susah untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (lampau Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berubah menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). melaluiataubersamaini perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah training Departemen Agama.


Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang tiruanla, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi anakdidik-anakdidik sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk anakdidik Sekolah Dasar, Wustha untuk anakdidik Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk anakdidik Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai forum pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi anakdidik-anakdidik sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara alasannya yaitu ketepatan-nya sanggup dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun pemikiran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah anakdidik 1.750.010 orang.

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah yaitu serpihan terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat ihwal pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan akseptor didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.

UU No. 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 ihwal pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak gres bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara sudah menyadari keguakaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.


Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana contoh pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas mengakibatkan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.


Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam bundar imbas pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul ialah kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi belum dewasa yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam bundar pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.

Ciri-ciri Madrasah Diniyah

melaluiataubersamaini meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem Madrasah Diniyah, maka sanggup dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah yaitu sebagai diberikut:

  1. Madrasah Diniyah ialah pelengkap dari pendidikan formal.
  2. Madrasah Diniyah ialah spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta sanggup diselenggarakan dimana saja.
  3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
  4. Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat mudah dan khusus.
  5. Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan masyarakat didiknya tidak harus sama.
  6. Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.

Kurikulum yang dipakai Madrasah Diniyah

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dna Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. melaluiataubersamaini jenis “pendidikan Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum sanggup tertulis dan tertulis (pasl. 12 ayat 2). Bahwa Madrasah DIniyah yaitu serpihan terpadu dari system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat ihwal pendidikan agama. Madarsah Diniyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan akseptor didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh alasannya yaitu itu, maka Menteri Agama d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tetapkan Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka memmenolong masyarakat mencapai tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun demikian, masyarakat tetap mempunyai keleluasaan unutk berbagi isi pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan leingkungan madrasah.

Madrasah diniyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Madrasah DIniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan yaitu siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.

Sebagai serpihan dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bertujuan :
  1. Melayani masyarakat berguru sanggup tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya.
  2. Membina masyarakat berguru semoga mempunyai pengetahuan, keterampilan dan perilaku mental yang diperluakan untuk berbagi diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
  3. Memenuhi kebutuhan berguru masyarakat yang tidak sanggup dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk menumbuh kembangkan ciri madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, amka tujuan madrasah diniyah dilengkapi dengan “mempersembahkan bekla kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk berbagi kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan masyarakat Negara”. Dalam aktivitas pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan ibarat Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.

Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri ihwal isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah watak berfumgsi untuk mempersembahkan pengetahuan dan bimbingan kepada santri semoga meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan mengakibatkan Rukun Iman sebagai pedoman bekerjasama dengan Tuhannya, sesame insan dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, berbagi dan membina santri untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam ialah mata pelajaran yang diperlukan sanggup memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan teman bersahabat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap pemikiran agama Islam, berbagi ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melakukan ibadah dan syariat agama Islam.

Kurikulum Madrasah Diniyah intinya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh alasannya yaitu itu, pengembangannya sanggup dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor Wilayat/Depag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk berbagi tersebut ialah tidak menyalahi hukum perundang-undangan yang berlaku ihwal pendidikan secara umum, peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah diniyah.

0 komentar

Posting Komentar