Sabtu, 29 Desember 2018

Masjid Dan Hukum Pengeras Suara


Kebutuhan Akan Pengeras Suara

Merupakan sebuah kenyataan bahwa dengan kemajuan teknologi seperi zaman kini ini, hampir tiruana Masjid dan mushola di seluruh dunia sudah mempunyai dan memakai alat pengeras suara. Tujuan digunakanya alat tersebut tidak lain yakni untuk menunjang tercapanya dakwah Islam kepada masyarakat luas di dalam masjid maupun di luar. Maksudnya juga supaya jamaah atau umat Islam yang tinggal agak berjauhan dari masjid sanggup mendengar bunyi azdan dengan adanya pengeras suara. Selin itu, dengn pertumbuhan penduduk yang pesat, menjadikan jamaah masjid membludak, sehingga perlu pengeras bunyi supaya bunyi imam atau khatib sanggup didengar oleh jamaah.

Memang keberadaan pengeras bunyi di masjid sangat memmenolong dalam kegiatan dakwah Islam dikala ini. Hanya saja kita dihentikan berlebihan dalam menggunakannya. Ada segelintir diantara kita yang salah dalam memanfaatkan dan tidak memakai sebagaimana patutnya.

Apa Yang salah Dalam Menggunakan Pengeras Suara

Di beberapa daerah masih ada masjid yang menyimpang dan menyalahi hukum yang diizinkan agama maupun pemerintah. 

Dalam shalat dan doa spesialuntuk untuk kepentingan jama'ah (dalam masjid), tidak perlu corongnya diarahkan keluar, sehingga tidak melanggar anutan Islam yang melarang bersuara keras dalam shalat dan doa.
"Dan tidakbolehlah engkau keraskan suaramu dalam shalatmu dan tidakboleh pula terlalu merendahkannya, dan carilah jala tengah di antara keduanya". (Al Isra` 110).

Dalam ayat lain:
"Dan berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan bunyi yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Ala'raf; 55).

Kemudian zikir ialah ibadah individu pribadi kepada Allah swt, oleh alasannya yakni itu tidak perlu memakai pengeras bunyi baik ke dalam maupun ke luar.

"Dan berzikirlah (ingatlah) engkau akan Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri serta lembut tanpa mengeraskan bunyi pada pagi dan petang, dan tidakbolehlah engkau termasuk orang-orang yang lalai."(AlA'raf:205).

Terutama di perkotaan, pengurus masjid harus benar-benar memperhatikan penerapan pengeras suara. Sudah tidak guah lagi di perkotaan di sekitar masjid terdapat daerah tinggal non-muslim, sehingga keadaan dan kondisi mereka tetap dipertimbangkan. Karena kita juga perlu menelaah hadits nabi yang menyampaikan :"Demi Allah, tidak diberiman. Demi Allah tidak diberiman. demi Allah tidak diberiman". Lalu ada orang yang bertanya: Siapa itu ya Rasulullah (orang yang tidak diberiman)", Rasulullah mengambarkan bahwa, orang yang tidak diberiman itu yakni orang yang tidak (pernah) kondusif tetangganya lantaran gangguan (kejahatannya)." Jangan hingga jawaban salah dalam memakai pengeras bunyi masjid, membuat tetangga-tetangga menjadi merasa terganggu, lebih-lebih tidakboleh hingga menimbulkan kebencian tetangga yang nonmuslim terhadap masjid.

Dalam suatu riwayat, pernah Ali RA membaca keras-keras bacaan shalat dan doanya, padahal orang-orang sedang pulas, kemudian rasulullah menegurnya: "Bacalah untuk dirimu sendiri, lantaran engkau tidak menyeru Tuhan yang tuli dan jauh, Sesungguhnya engkau menyeru Allah Yang Maha Mendengar dan Dekat".


Ketentuan Dalam Penggunaan Pengeras Suara

Soal pengeras bunyi di masjid diatur dalam keputusan nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu ditanhadirani Dirjen Bimas Islam dikala itu, Kafrawi, pada 17 Juli 1978.

Berikut hukum Bimas Islam terkena syarat-syarat penerapan pengeras suara:

1. Perawatan penerapan pengeras bunyi yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. melaluiataubersamaini demikian tidak ada bunyi bising, berdengung yang sanggup menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala

2. Mereka yang memakai pengeras bunyi (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya mempunyai bunyi yang fasih, merdu, yummy tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.

3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, ibarat tidak bolehnya terlalu meninggikan bunyi doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati anutan agamanya

4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan pulas, istirahat, sedang diberibadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka bunyi keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti usul takwa juga sanggup dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

5. Dari tuntunan nabi, bunyi azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan lantaran itu penerapan pengeras bunyi untuknya yakni tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan yakni supaya bunyi muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Di dalam kode itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras bunyi baik bunyi ke dalam ataupun keluar. Juga penerapan pengeras bunyi di waktu-waktu salat.

(Sumber tulisan: Majalah Suara Masjid & Detiknews).

0 komentar

Posting Komentar