Senin, 24 Desember 2018

Kapankah Waktu Yang Paling Afdhol Bersedekah?

Tercantum dalam hadits riwayat Bukhari:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ

تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ

قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ


'Dari Abu Hurairah RA berkata: "Seseorang bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling afdhol?” Beliau menjawaban: “Kau berinfak saat kamu masih dalam keadaan sehat lagi loba, kamu sangat ingin menjadi kaya, dan khawatir miskin. Jangan kamu tunda hingga ruh sudah hingga di kerongkongan, kamu gres berpesan :”Untuk si fulan sekian, dan untuk si fulan sekian.” Padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli waris).”

Sekurangnya kita temukan ada empat kriteria dalam hadits tersebut: (1) Dalam keadaan sehat lagi loba alias berambisi mengejar laba duniawi; (2) dalam keadaan sangat ingin menjadi kaya; (3) dalam keadaan sangat khawatir menjadi miskin dan (4) tidak dalam keadaan sudah menjelang meninggal dunia dan berkemas-kemas membuat guaka wasiat soal harta yang bakal terpaksa ditinggalkannya.


Pertama, orang yang paling afdhol dalam bersedekah ialah orang yang dalam keadaan sehat lagi loba alias tamak alias berambisi sangat mengejar laba duniawi. Artinya, ia masih muda lagi masa depan hidupnya masih dihiasi guaka ambisi dan perencanaan untuk menjadi seorang yang sukses, mungkin dalam karirnya atau bisinisnya.

Dalam keadaan menyerupai ini biasanya seseorang akan mencicipi kesusahan dan keengganan berinfak alasannya ialah segenap potensi harta yang ia miliki pastinya ingin ia pusatkan dan curahkan untuk modal menyukseskan banyak sekali perencanaan dan proyeknya. melaluiataubersamaini dalih masih dalam tahap investasi, maka ia akan selalu menunda dan menunda niat bersedekahnya dari sebagian harta yang ia miliki. Karena setiap ia mempunyai kelebihan harta sedikit saja, ia akan segera menyalurkannya ke pos investasinya.

Setiap uang yang ia miliki segera ia tanam ke dalam bisnisnya dan ia katakan ke dalam dirinya bahwa kalau ia berinfak dalam tahap tersebut maka sedekahnya akan terlalu sedikit, lebih baik ditunda berinfak saat nanti sudah sukses sehingga dapat berinfak dalam jumlah ”signifikan” alias berjumlah banyak. Akhirnya ia tidak kunjung pernah mengeluarkan sedekah selama masih dalam masa investasi tersebut.

Kedua, berinfak saat dalam keadaan sedang sangat ingin menjadi kaya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam seolah ingin menggambarkan bahwa orang yang dalam keadaan tidak ingin menjadi kaya berarti bersedekahnya kurang bernilai dibandingkan orang yang dalam keadaan berambisi menjadi kaya. Sebab bila seorang yang sedang berambisi menjadi kaya berinfak berarti ia bukanlah tipe orang yang spesialuntuk ingin menikmati kekayaan untuk dirinya sendiri.

Ia semenjak masih bercita-cita menjadi kaya sudah membuatkan sifat dan huruf dermawan. Hal ini menunjukkan bahwa kalau Allah izinkan dirinya benar-benar menjadi orang kaya, maka dalam kekayaan itu beliau bakal selalu sadar ada hak kaum yang kurang bernasib baik yang perlu diperhatikan.

Sekaligus kebiasaan berinfak yang dikembangkan semenjak seseorang gres pada tahap pertama merintis bisnisnya, maka hal itu mengindikasikan bahwa si pelaku bisnis itu sadar sekali bahwa rezeki yang ia peroleh seluruhnya berasal dari Yang Maha Pemdiberi Rezeki, Allah Ar-Razzaq.

Hal ini sangat tidak sama dengan orang kaya dari kaum kafir menyerupai Qarun, misalnya. Qarun ialah tokoh kaya di zaman lampau yang di dalam meraih keberhasilan bisnisnya menyangka bahwa kekayaan yang ia peroleh ialah buah dari kepiawaiannya dalam berbisnis semata.

Ia tidak pernah mengkaitkan kesuksesan dirinya dengan Yang Maha Pemdiberi Rezeki, Allah swt.

Baca kelanjutannya ERAMUSLIM

0 komentar

Posting Komentar